Artikel


Teka-teki Pemikiran Gus Dur
Tentu bukan Gus Dur jika tidak selalu bikin urat-saraf kita tegang. Menonton tingkah Gus dari Jombang ini, seperti menonton film Speed yang dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock. Dari menit ke menit, kita harus selalu siap dikejutkan oleh adegan yang sama sekali tak terduga. Tapi, percayalah kepada sutradara Hollywood: mereka pasti menutup kisah dengan sebuah happy-ending.

Ada dua jenis kontrovesi yangsecara serentak dipicu oleh Gus Dur sekarang ini. Dan dengan itu, dia menjadikan dirinya beresiko untuk "bertabrakan" dengan hampir semua kelompok.

Kontroversi pertama adalah ketika dia menerima permintaan Institut Simon Peres (ISP) untuk bergabung menjadi anggotanya. Bukan sekedar itu: dia tak kurang malah sujud syukur. Ini jelas menantang "mental kolektif" umat Islam di Indonesia yang masih memandang "najis" melakukan kerjasama "teologis" dengan kelompok-kelompok di luar Islam, terutama kelompok "Ahlul Kitab", yakni orang Kristen dan Yahudi.

Kontroversi kedua adalah ketika dia, dengan keyakinan diri yang tinggi, menggandeng Mbak Tutut untuk dipertemukan dengan warga NU di pelbagai daerah. Tindakan ini, diukur dengan "common sense" orang awam biasa, jelas kontroversial. Bagaimana mungkin Gus yang menjadi simbol "oposisi" sipil di Indonesia ini bergandengan dengan salah satu tokoh dalam "inner circle" kekuasaan. Apakah ia telah "tergadaikan"?

Jika Gus Dur berbuat "nakal", itu sudah lama kita ketahui. Tapi, yang unik sekarang ini adalah bahwa dua kenakalan ia perbuat sekaligus, dalam waktu yang bersamaan. Biasanya, ia "mencicil' kenakalan itu dari waktu ke waktu: seolah ingin memberikan kesempatan kepada kita untuk bernafas sejenak. Sekarang: ia "borong" kenakalan itu dalam waktu yang bersamaan. Akibatnya adalah ia harus "menantang" semua kelompok dalam masyarakat. Barangkali, inilah tindakan Gus Dur yang paling tidak populer.

Marilah kita runut sejenak 'kenakalan-kenakalan" Gus kita ini. Ia pernah mengatakan bahwa rukun Islam yang lima haruslah ditambah satu: keadilan sosial. Ia, suatu kali, membuat umat gemas karena pernyataannya bahwa salam khas Islam itu mestinya diganti dengan salam yang lebih "nasionalistik": Selamat Pagi! Ia juga pernah membuat marah Pak Amien Rais dkk., karena pernyataan bahwa Islam haruslah berfungsi sebagai "ideologi" komplementer terhadap, dan bukan alternatif bagi, Pancasila. Umat juga pernah "meradang-menerjang" karena fatwanya yang tidak populer dalam kasus Monitor. Yang paling menggemaskan adalah ketika di penghujung tahun 1994, bersama sejumlah "intelektual liberal", ia meniru tindakan Sadat: berkunjung ke negeri Yahudi, Israel.

Kontroversi jenis pertama ini, kurang lebih, bisa kita golongkan kedalam "kenakalan" di sektor teologis. Maksudnya, tindakan-tindakan itu lebih banyak bersangkutan dengan wilayah "bawah sadar" umat yang masih dikuasai oleh interpretasi yang 'konservatif" terhadap Islam.

Kontroversi kedua adalah kenakalan-kenakalan yang dilakukan Gus Dur di sektor "sekular". Ia, misalnya, pernah membuat warga nahdliyyin gemas karena mendirikan Fordem (Forum Demokrasi), di mana terhimpun hampir semua "simbol oposisi" di Indonesia sekarang. Ia pernah berperkara dengan presiden gara-gara sebuah wawancara dengan Adam Schwarz. Ia juga menggandeng Megawati runtang-runtung ke pesantren-pesantren, persis seperti yang ia lakukan pada Mbak Tutut sekarang. Ia juga "berkoalisi" dengan jenderal-jenderal "kritis" dalam YKPK. Dari waktu ke waktu, Gus Dur juga selalu melontarkan pernyataan-pernyataan yang "galak" terhadap pemerintah.

* * *

Apa dampak dari dua jenis kontroversi ini? Sungguh di luar dugaan Gus Dur sendiri.

Dari kontroversi jenis pertama, ia tampil ke publik dengan sebuah "citra" yang terasa amat "sekular": ia berdiri di atas semua kelompok, mampu melampaui batas-batas kepentingan yang lahir karena alasan-alasan komunalistik, membela hak-hak kaum minoritas, serta menjadi simbol "proteksi" atau perwalian dari kelompok mayoritas (baca: Islam) terhadap minoritas. Memikul "citra" ini jelas bukan perkara gratis, serta tidak menuntut harga sedikitpun. Harga paling mahal yang harus dipikul adalah "kecemburuan" umat yang menuduhnya lebih memberi "hati" kepada orang lain daripada kawan sendiri. Lebih jauh lagi, ia dituduh: menjadi antek musuh-musuh Islam.

Dari kontroversi jenis kedua, ia kemudian hadir sebagai seorang "simbol oposisi" terhadap pemerintah. Orang kemudian juga mulai banyak menaruh 'harapan" kepadanya. Ketika ia memenangkan "ronde paling sulit" ketika bertarung dengan Abu Hasan di Cipasung, yang menyalaminya pertama-tama justru bukan "orang dalam", tapi adalah aktivis pro-demokrasi. Seolah kemenangan Gus Dur di Cipasung adalah kemenangan satu babak dari perjuangan ke arah demokratisasi di negeri ini. Ketika ia bergandengan tangan dengan Mega, maka "impian kolektif" akan lahirnya suatu perubahan di negeri ini di bawah "komando" seorang tokoh penuh karisma, seolah akan segera terwujud. Orang-orang sudah mulai berbicara tentang kemungkinan mengulang "drama" yang berlangsung begitu impresif di Filipina, Polandia, dan Iran.

Citra kedua sebagai "simbol oposisi" ini juga menuntut, tanpa bisa ditawar lagi, suatu harga yang bukan main tingginya: karena memihak "demokrasi", ia dituduh melawan "bulan madu" umat Islam dengan baekan dengan pemerintah, maka hindarilah untuk sementara perkara-perkara yang membuat pihak terakhir itu tidak senang, misalnya "dagangan demokrasi". Tapi Gus Dur tidak mau.

Inilah citra yang terbentuk tentang diri Gus Dur: ia, di satu pihak, dielu-elukan sebagai pelindung kelompok-kelompok minoritas; dan, di pihak lain, ia juga secara "romantik' dijadikan sebagai "simbol oposisi" di Indonesia. Citra ini sudah begitu tebalnya, sehingga para "korban" citra tersebut tidak rela kalau ada pergantian "casting" pada diri Gus Dur.

Bukankah ini sama persis dengan relanya rakyat Argentina terhadap keputusan sutradara film Evita, Alan Parker, untuk memberikan peran Evita Peron kepada "simbol promiskuitas": Madonna? Sebagaimana Madonna, Gus Dur juga menolak "impian kolektif" publik untuk setia pada satu jenis "casting".

Pergantian "casting" inilah yang sekarang terjadi pada Gus Dur. Para penonton pun marah, gugup, serta bertanya-tanya: sedang ada "skenario"apa di baliknya. Dan tidak sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, yang marah sekarang ini adalah dua kelompok "fundamentalis" sekaligus. Pertama, "fundamentalis" Islam. Kemarahan mereka diarahkan pada jenis kontroversi yang pertama: ialah kesertaannya dalam ISP itu. Kedua, adalah "fundamentalis demokrasi" yang marah karena kontroversi jenis kedua: yakni in-konsitensi dalam langkah-langkahnya diukur dari kriteria "puritan" sebuah perjuangan demokratisasi.

* * *

Tinggal satu pertanyaan sekarang: mengapa Gus Dur selalu membuat kontroversi, membangkitkan "polemik", serta "kurang ajar"? Mengapa Gus ini selalu tampil sebagai "teka-teki"?

Jika pertanyaan ini hendak dipertajam lagi: adakah kemungkinan "peran" lain buat Gus Dur di luar kemungkinan menjadi "teka-teki" ini? Dengan kata lain: mestikah Gus Dur terus-menerus harus menjadi "teka-teki"?

Saya khawatir terpaksa menjawab pertanyaan terakhir itu dengan sebuah afirmasi. Kenapa?

Saya kira Gus Dur telah terjebak ke dalam "determinisme historis" yang tidak ia kehendaki. Yang saya maksud dengan "determinisme historis" itu adalah posisi dia yang selalu berada pada "persilangan kultural" yang amat pelik dan kusut. Bayangkanlah: ia tumbuh dalam suatu "ruang sejarah" yang dibentuk oleh tradisi pesantren yang kuat; tapi ia juga mengatasi ruang itu dengan mencari sumber-sumber tradisi baru yang berasal dari Barat. Ia memimpin sebuah organisasi massa Islam besar yang tingkat kesadarannya masih bersifat "komunalistik"; tapi ia juga sekaligus diharapkan menjadi "simbol" dari sebuah oposisi modern. Ia dielu-elukan sebagai pemimpin masyarakat nahdliyyin; tapi ia juga diharapkan oleh kelompok di luar Islam untuk menjadi pelindung bagi warga minoritas.

Walhasil: Gus Dur sebetulnya berada pada suatu posisi sosial-historis yang penuh "teka-teki". Di situ terdapat segala jenis harapan, kepentingan, ilusi, romantisme, dan citra yang campur aduk, kadang juga bertabrakan. Tindakan Gus kita yang sarat teka-teki ini tak bisa lain merupakan cerminan dari posisi sosialnya yang penuh teka-teki itu.

Jika istilah "teka-teki" terlalu abstrak, maka pakailah istilah: dilema. Maksudnya: posisi sosial Gus Dur jelas amat dilematis. Di satu pihak ada kepentingan "privat" nahdliyyin yang harus ia penuhi, di pihak lain ada kepentingan "publik" bangsa yang tak bisa ia tunda. Di satu pihak ada dorongan ke arah "kekenesan" pribadi yang mencirikan gaya seorang intelektual, di pihak lain ada dorongan untuk menjaga "harmoni" umat yang mengharamkan "kekenesan" semacam itu. Jika boleh meminjam istilah Richard Rorty: ada dua tendensi yang bekerja sekaligus dalam diri Gus Dur, tapi saling bertabrakan, yakni tendensi ke arah self-perfection di satu pihak, serta tendensi ke arah social solidarity di pihak lain.

Kalau sudah begini, pertanyaan kita adalah: bukankah ini dilema khas cendekiawan di mana-mana?

Tidak ada komentar: